TVNYABURUH.COM | Akhir-akhir ini makin terkuak berbagai kasus kezaliman oligarki terhadap hak-hak rakyat. Oligarki semakin kuat mencengkeram sumber daya negeri ini. Rakyat kecil pun menjadi korban. Kasus-kasus nyata di berbagai daerah menunjukkan bahwa negara seolah melakukan pembiaran terhadap berbagai kezaliman yang terjadi. Negara seolah lebih berpihak pada kepentingan oligarki daripada berpihak kepada rakyatnya sendiri.
Di sektor tambang, misalnya, yang merupakan salah satu sumber daya strategis negeri ini. Alih-alih dikelola demi kepentingan rakyat, tambang justru dikuasai oleh segelintir elit oligarki. Mereka mengeruk keuntungan besar dari hasil bumi Indonesia. Sebaliknya, masyarakat sekitar tambang hanya mendapat dampak negatif seperti pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem dan konflik agraria yang tak kunjung usai.
Contoh lain adalah kasus pemagaran laut dan perampasan hak publik. Fenomena pemagaran laut di berbagai daerah (seperti di Tangerang, Bekasi, dll) semakin menunjukkan betapa negara tidak berpihak kepada rakyat. Laut, yang seharusnya menjadi milik bersama dan dapat diakses oleh siapa saja, kini dikuasai oleh segelintir pihak demi kepentingan bisnis mereka. Pemagaran laut juga mengancam keseimbangan ekologi serta kehidupan masyarakat pesisir, khususnya para nelayan, yang sangat bergantung pada sumber daya laut.
Kasus lainnya adalah penggusuran lahan warga secara paksa oleh oligarki. Di berbagai daerah, praktik penggusuran paksa terus terjadi. Warga yang telah tinggal di suatu wilayah selama puluhan tahun tiba-tiba harus angkat kaki tanpa ganti rugi yang layak. Mereka dipaksa pergi demi proyek-proyek besar yang sering hanya menguntungkan segelintir pihak. Sebagai contoh adalah kasus PIK 2 yang nyata-nyata banyak menggusur lahan warga secara paksa.
Selain terkesan membiarkan kezaliman oligarki terhadap rakyat, negara justru menjadi pelaku kezaliman itu sendiri. Contoh kecil dalam kasus mutakhir, yakni kebijakan berupa larangan menjual LPG 3 kg langsung ke pengecer. Keputusan ini langsung memicu gejolak di masyarakat. LPG 3 kg, yang selama ini menjadi kebutuhan pokok rakyat kecil, menjadi sulit diakses. Banyak warga yang kesulitan mendapatkan gas untuk kebutuhan sehari-hari. Meski pada akhirnya—setelah diprotes banyak pihak—kebijakan ini dibatalkan oleh Pemerintah, ini tetap menunjukkan ketidakpekaan Pemerintah atas kemaslahatan rakyatnya.
*Pemimpin Itu Melayani*
Dalam Islam, pemimpin itu hakikatnya pengurus dan pelayan rakyat. Demikian sebagaimana sabda Nabi saw.:
فَاْلإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).
Pengurusan rakyat (ri’âyah) itu dilakukan dengan siyâsah (politik) yang benar, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim. Ri’âyah atau siyâsah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariah serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Inilah seharusnya yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang amanah.
Pemimpin amanah akan menunaikan tugas ri’âyah, yakni memelihara semua urusan rakyatnya seperti: menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara); menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman, termasuk dari oligarki. Dalam memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka).” (HR Abu Nu’aim).
Rasul saw. banyak memperingatkan penguasa dan pemimpin yang tidak amanah/khianat dan zalim. Mereka adalah pemimpin jahat (HR at-Tirmidzi). Mereka adalah pemimpin yang dibenci oleh Allah SWT, dibenci oleh rakyat dan membenci rakyatnya (HR Muslim). Mereka adalah pemimpin bodoh (imâratu as-sufahâ’), yakni pemimpin yang tidak menggunakan petunjuk Rasul saw. dan tidak mengikuti Sunnah beliau (HR Ahmad). Mereka adalah penguasa al-huthamah, yakni yang jahat dan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya (HR Muslim). Mereka adalah penguasa yang menipu (ghâsyin) rakyat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sayangnya, sistem pemerintahan demokrasi-kapitalis-sekuler saat ini justru banyak melahirkan para pemimpin yang banyak dicela oleh Rasulullah saw. sebagaimana dalam hadis-hadis di atas. Sebabnya, mereka yang akan memegang tampuk kekuasaan acapkali berada di bawah kendali para cukong yang selama ini men-support mereka dengan banyak gelontoran dana pada musim Pemilu. Mereka tentu akan lebih loyal kepada para pemodal mereka daripada kepada rakyat mereka. Karena itu jangan heran jika banyak pejabat yang kehilangan rasa empati sekalipun banyak rakyatnya yang menderita. Mereka lebih memilih memperkaya diri dan koleganya (oligarki) daripada peduli kepada rakyat mereka sendiri.
*Sifat yang Wajib Dimiliki oleh Pemimpin*
Tanggung jawab pemimpin berkaitan dengan sifat yang wajib ada pada dirinya, sebagaimana disebutkan dalam banyak Hadis Rasul saw.. Di antara yang paling menonjol adalah sifat kuat, takwa, lembut terhadap rakyat dan tidak membuat rakyat menjauh.
Seorang pemimpin haruslah seorang yang kuat, bukan orang yang lemah. Abu Dzar al-Ghifari menuturkan, ia pernah berkata kepada Rasul saw., “Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat aku menjadi amil?” Abu Dzar berkata: Lalu Rasul menepuk pundakku seraya bersabda, “Ya Abu Dzar, sungguh engkau itu lemah. Sungguh jabatan itu adalah amanah dan pada Hari Kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya.” (HR Muslim).
Kuat di sini bukanlah kuat secara fisik meski kekuatan fisik juga sangat membantu seorang pemimpin untuk menunaikan tugas kepemimpinannya. Kuat di sini bermakna kuat syakhshiyah (kepribadian)-nya, yakni kuat ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap)-nya. Pola pikirnya haruslah pola pikir islami. Ia memahami berbagai perkara berdasarkan akidah dan syariah Islam. Pola sikapnya juga haruslah pola sikap islami. Ia menjalankan kepemimpinan dan mengelola perilakunya layaknya pemimpin sesuai dengan akidah dan syariah Islam.
Kekuatan kepribadian ini harus diiringi dengan sifat takwa dan kontrol diri yang juga kuat supaya tidak kebablasan. Karena itu pemimpin harus memiliki sifat takwa baik berkaitan dengan dirinya sendiri maupun dalam ri’ayah (pemeliharaan)-nya terhadap urusan rakyatnya. Seorang pemimpin yang bertakwa kepada Allah, senantiasa ber-taqarrub kepada-Nya dan sadar senantiasa diawasi oleh Allah tentu tak akan berani menindas rakyat.
Namun demikian, ketakwaan seorang pemimpin tidak seharusnya menghalangi dirinya untuk bersikap tegas dalam menegakkan kebenaran. Ini karena pemimpin harus terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Dengan demikian kuat di sini juga mencakup sikap tegas terhadap setiap bentuk kemaksiatan dengan tetap bersikap seimbang dan adil menurut tuntunan syariah terhadap pelakunya tanpa pandang bulu.
Meski pemimpin itu harus bersikap tegas, ia juga harus memiliki sikap lembut kepada rakyatnya dan tidak memberatkan mereka. Karena itu Rasul saw. pernah berdoa tentang hal ini:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu dia mempersulit mereka, maka persulitlah dia; dan siapa saja yang menangani urusan umatku, lalu dia berlaku lembut kepada mereka, maka perlakukanlah dia dengan lembut (HR Muslim dan Ahmad).
Pemimpin juga harus menggembirakan rakyatnya, bukan membawa kesedihan bagi mereka. Pemimpin pun harus memudahkan urusan rakyatnya, bukan malah mempersulit mereka. Demikian sebagaimana sabda Rasul saw.:
بَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا
Gembirakanlah mereka, jangan membuat mereka lari. Permudahlah urusan mereka, jangan mempersulit mereka (HR Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Selain itu Rasulullah saw. pun mengingatkan seorang pemimpin dari para pembantunya yang licik dan khianat. Beliau bersabda:
مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ
Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau mengangkat seorang khalifah, melainkan ada dua orang kepercayaan pribadi, yakni seseorang yang menganjurkan kebaikan dan seseorang yang menganjurkan kejahatan (HR al-Bukhari).
Keberadaan orang-orang kepercayaan atau para pembantu bagi seorang pemimpin ini tentu sangat diperlukan. Akan tetapi, seorang pemimpin tentu perlu mencermati bahkan jika diperlukan mesti mewaspadai para pembantunya yang licik dan khianat.
*Khatimah*
Itulah gambaran sebagian tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya yang telah ditentukan oleh Islam. Semua itu hanya akan bisa terwujud dalam sistem pemerintahan Islam. Sebabnya, sosok pemimpin yang baik saja tidak cukup. Pemimpin yang baik harus ada dalam sistem pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan yang baik tentu harus bersumber dari Zat Yang Mahabaik, Allah SWT. Itulah sistem yang telah diamanahkan oleh Rasulullah saw. kepada kaum Muslim sepeninggal beliau, yakni Khilafah ‘alâ minhâj an-nubuwwah.
*Hikmah:*
Rasul saw. bersabda:
مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِى أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لاَ يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلاَّ لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum Muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka. (HR Muslim).
Buletin Kaffah Edisi 381 (8 Sya’ban 1446 H/7 Februari 2025 M)
Editor: Ahmad Jais