Tvnyaburuh.com – Vereeniging van Spoor- en Tramwegpersoneel (VSTP) atau Serikat Buruh Kereta Api dan Trem merupakan organisasi buruh kereta api bumiputra pertama yang berdiri di Hindia Belanda. Setelah memberontak lewat pemogokan besar-besaran pada Mei 1923, organisasi ini meredup karena meningkatnya represivitas pemerintah kolonial. John Ingleson dalam Bound Hand and Foot: Railway Workers and the 1923 Strike in Java (1981:53-87) mengatakan setelah itu terjadi penangkapan masif kepada pimpinan dan anggota-anggota serikat. Sebagian ditangkap dan dipenjarakan, sebagian lagi diasingkan ke Boven Digul.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, para buruh di stasiun-stasiun mendirikan serikat tingkat lokal. Organisasi ini memang tidak berskala nasional apalagi sebesar VSTP, tetapi keberadaan mereka turut mewarnai dinamika politik nasional dalam kurun revolusi fisik, 1945-1949.
Jejak Perjuangan
Setelah aksi-aksi sporadis ini, kaum buruh berhaluan nasionalis dan komunis beralih fokus untuk merencanakan reunifikasi demi mencapai kejayaan seperti VSTP. Meski tanggal berdirinya tidak diketahui, setidaknya sejak Maret 1946 kaum buruh kereta api lokal membentuk organisasi bernama Serikat Boeroeh Kereta Api (SBKA).
Dalam Organising Under the Revolution Unions and the State in Java 1945-48 (2013:98) karya Jafar Suryomenggolo disebutkan bahwa SBKA aktif mengadvokasi kepentingan para anggota. Misal dalam hal kesejahteraan. SBKA aktif mengupayakan distribusi pangan untuk buruh yang didapat dari jawatan. Aksi ambil alih stasiun berbuah manis yang itu dirasakan semua anggota.
Selain melahirkan manfaat ekonomi, kehadiran SBKA juga tampak dalam panggung-panggung politik. Karena SBKA juga menguasai jalur distribusi yang sangat strategis, dalam agitasi pemogokan, misalnya, kerap ditekankan bahwa tujuannya bukan sekadar untuk menuntut ‘gula dan kopi’, tapi juga kemerdekaan.
Namun Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag Belanda pada 23 Agustus-2 November 1949 membuat ekonomi buruh terpuruk. Di satu sisi perjanjian ini memang menandakan penyerahan kedaulatan, tetapi terdapat poin yang mengatur kedudukan ekonomi Belanda yang itu sangat merugikan Indonesia. Salah satunya ialah Indonesia harus menjamin kelangsungan bisnis perusahaan Belanda.
Dampak dari klausul tersebut membuat kepemilikan perusahaan kereta api yang sempat direbut oleh buruh pada kurun waktu 1945-1949 harus dikembalikan kepada Belanda. Dampak turunannya, jika sebelumnya buruh kereta api masuk dalam kategori pegawai pemerintah yang mendapatkan tunjangan beras dan kebutuhan pokok lain, status mereka berubah menjadi buruh swasta. Bahkan mereka harus menderita akibat ketidakpastian status kerja dan kenaikan harga bahan pokok.
SBKA naik pitam. Mereka berkampanye untuk menolak keputusan KMB dan membuat resolusi agar pendapatan buruh bisa meningkat. Dengan watak anti kompromistis, SBKA yang didukung sebagian besar buruh kereta api hanya akan berjuang dengan tujuan menang tanpa membuka kemungkinan tuntutan moderat.
Menurut catatan Harian Umum pada 8 Juli 1950, pihak jawatan menawarkan program pinjaman sebesar 50% gaji untuk mencegah aksi mogok. Tetapi pinjaman yang wajib dikembalikan oleh buruh bukanlah solusi. Dalam Harian Umum 13 Juli 1950, disebutkan bahwa SBKA mengeluarkan peringatan terakhir: Apabila dalam 2×24 jam jawatan tidak memberikan instruksi mengenai pemberian hadiah Lebaran, maka SBKA siap untuk melancarkan mogok. SBKA cabang Surabaya pada 6 Juli 1950 menuntut pada pihak Jawatan untuk membayar hadiah Lebaran akibat meroketnya harga bahan pokok.
Ancaman para buruh membuat jawatan ketakutan. Kereta api adalah transportasi yang berjejaring. Pemogokan satu cabang SBKA berpotensi melumpuhkan mobilitas di kota lain yang bisa melumpuhkan distribusi barang.
Memasuki 1950-an, SBKA memang merupakan salah satu organisasi yang menjadi pelatuk tuntutan hadiah Lebaran–sekarang dikenal dengan tunjangan hari raya (THR). Tuntutan hadiah Lebaran yang dipelopori oleh SBKA ini tergolong yang paling awal hingga pada akhirnya pemerintah melembagakanya menjadi THR sejak 1960an seperti yang kita kenal sekarang.
Konflik Horizontal
Selain persoalan yang datang dari eksternal, serikat-serikat buruh kereta api juga mendapat tantangan yang berasal dari dalam. Ini berawal dari Perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda pada 17 Januari 1948. Lewat perjanjian ini wilayah kekuasaan Indonesia yang diperoleh dari Perjanjian Linggarjati menyusut. Republik jadi hanya menguasai sebagian Pulau Sumatera dan sebagian Pulau Jawa. Wilayah lain masuk dalam ‘negara boneka’ bentukan Belanda, termasuk di dalamnya Negara Pasundan yang menguasai sebagian besar Jawa bagian barat.
Tidak lama setelah kekalahan Indonesia dalam meja perundingan, di Gedung Concordia, sekarang Gedung Merdeka, Bandung–yang masuk dalam teritori Negara Pasundan–berdiri sebuah organisasi buruh kereta api bernama Serikat Sekerdja Kereta Api (SSKA). Pada Desember 1949, dalam kongres pertama yang diadakan di Bandung, SSKA mengubah nama menjadi Persatuan Buruh Kereta Api (PBKA).
Dalam konteks Perang Dingin, PBKA hadir untuk menyaingi SBKA yang semakin condong ke ‘kiri’. PBKA dipimpin oleh Koesna Poeradiredja, yang merujuk Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015:150) berhaluan anti-komunis.
Kehadiran PBKA mengundang perseteruan di kalangan buruh kereta api yang sebagian besar segaris dengan SBKA. Menurut Paijo, bukan nama sebenarnya, mantan kader SOBSI, mereka tergabung dalam PBKA umumnya mempunyai jabatan di stasiun, sedangkan SBKA mayoritas diisi oleh buruh kasar dan buruh harian.
Jafar Suryomenggolo (2015) menuturkan bahwa perseteruan antara PBKA dan SBKA memang berawal dari perbedaan prinsip politik. Konteks Perang Dingin saat itu membawa buruh kereta api pada arus polarisasi ‘kalau tidak kanan, ya, kiri’.
Konflik makin memanas karena dalam perjalanannya PBKA bergabung menjadi anggota federasi Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI) yang dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), sedangkan SBKA menggabungkan diri menjadi anggota Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang secara ideologis dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI dan PSI adalah dua organsiasi politik yang tidak bisa didamaikan.
Dalam terbitan resmi bernama Bulletin SOBSI edisi 5 Juni 1955 (hlm. 2-3), SOBSI sangat geram dengan serangkaian aksi yang dilakukan oleh PBKA-KBSI, termasuk mogok pada awal 1955. SOBSI menilai ada agenda terselubung di balik pemogokan, yaitu memperlemah kedudukan kabinet Ali Sastroamidjojo.
Pasca-kegagalan petualangan G30S/1965, SBKA memilih posisi mendukung Dewan Revolusi. Menurut Kuncoro Hadi dkk dalam Kronik ’65 Catatan Hari Per Hari Peristiwa G30S Sebelum Hingga Setelahnya (1963-1971) (2017:280) pada 20 Oktober 1965 SBKA cabang Stasiun Balapan Surakarta menggelar mogok yang merupakan manifestasi dukungan terhadap Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letkol Untung. Maka kita semua tahu ujung dari itu: Setelah kekuasaan dipegang oleh Soeharto sejak 11 Maret 1966, SBKA menjadi salah satu dari sekian banyak organisasi yang dibubarkan oleh Angkatan Darat.
Meski begitu, warisan yang diturunkan oleh SBKA masih eksis dan kita rasakan hingga sekarang. Salah satunya ialah perusahaan kereta api yang dimiliki oleh negara.
dikutip dari tirto.id
#Tim