Tarif Air Melonjak Langgar Aturan, CBA Desak KPK Periksa Dirut PAM Jaya Arief Nasrudin dan Pj Gubernur Jakarta

banner 120x600

 

JAKARTA | Ribuan penghuni apartemen di Jakarta kini berada di ujung tanduk setelah tarif air minum dari Perumda Pam Jaya mengalami lonjakan drastis berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 730 Tahun 2024, yang ditetapkan pada 16 Oktober 2024 oleh Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Kenaikan ini menambah beban hidup masyarakat Jakarta di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit.

banner 728x90

Ironisnya, keputusan strategis ini diambil oleh Penjabat (Pj) Gubernur, Heru Budi yang menurut aturan seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan besar tanpa persetujuan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Gelombang protes pun bermunculan. Sejumlah penghuni apartemen turun ke jalan, menyuarakan keberatan mereka atas kebijakan ini. Unjuk rasa terjadi di depan kantor Pam Jaya, kantor Balai Kota DKI Jakarta dan gedung DPRD DKI Jakarta pada tanggal 10 dan 12 Maret 2025. Para demonstran menuntut transparansi dan mempertanyakan legalitas keputusan tersebut.

“Kami sudah terbebani dengan biaya hidup yang tinggi, sekarang air pun makin mahal! Ini benar-benar tidak adil!,” ujar Rini (34), penghuni sebuah apartemen di Jakarta Barat yang ikut dalam aksi unjuk rasa.

Berdasarkan tarif baru yang diberlakukan mulai per 1 Januari 2025, Penghuni apartemen digolongkan dalam Kelompok IV B bersama dengan Gedung komersial dan Pusat perbelanjaan, dengan tarif sebesar Rp 12.550 per meter kubik (m³). Padahal, Apartemen sejatinya merupakan hunian rakyat, bukan tempat usaha komersial seperti Mall atau Hotel.

Sebelum Keputusan Gubernur Nomor 730 Tahun 2024, tarif air Pam Jaya mengacu pada Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 57 Tahun 2006 yang telah berlaku selama lebih dari 17 tahun. Dalam keputusan lama, apartemen tidak dikategorikan sebagai gedung komersial, melainkan sebagai hunian, sehingga tarif yang dikenakan lebih rendah dan lebih terjangkau bagi masyarakat.

Pada keputusan terbaru, Apartemen kini digolongkan ke dalam kelompok tarif gedung bertingkat tinggi dan pusat perbelanjaan, yang menyebabkan lonjakan tarif yang sangat signifikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, Mengapa kebijakan tarif berubah secara drastis tanpa adanya sosialisasi yang memadai kepada Masyarakat?

Selain itu, Dalam Keputusan Gubernur sebelumnya, kenaikan tarif Air didasarkan pada kajian ekonomi serta evaluasi keterjangkauan bagi masyarakat. Sementara, pada kebijakan terbaru tidak ada keterbukaan dalam penjelasan kepada publik. Hal ini berpotensi bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), terutama dalam aspek transparansi dan keadilan.

Sementara itu, Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi menyoroti kebijakan Pj Gubernur Jakarta yang menyalahi atas kewenangannya, Akibatnya keputusan ini menimbulkan polemik karena Pj Gubernur DKI Jakarta saat itu tidak diperbolehkan membuat kebijakan strategis, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 Pasal 9 ayat (2). Kebijakan yang berdampak luas terhadap masyarakat, seperti kenaikan tarif air, seharusnya memerlukan persetujuan dari pemerintah pusat.

“Ya, karena kebijakan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Pj Gubernur DKI Jakarta seharusnya tidak bisa sembarangan membuat keputusan yang bersifat strategis, Apalagi jika itu menyangkut kepentingan publik seperti tarif air. Jika aturan ini diabaikan, Keputusan tersebut bisa digugat dan dibatalkan. Bahkan, dalam beberapa kasus serupa, pemerintah pusat bisa membekukan kebijakan yang dianggap bertentangan dengan regulasi yang berlaku,” ujar Uchok Sky kepada wartawan Jumat,(14/3/2025).

Lanjut Uchok Sky, kenaikan Tarif air PAM Jaya tidak masuk akal lantaran ada oknum yang diuntungkan, dan sudah termasuk kategori dugaan korupsi. Karena itu melanggar aturan hukum.

“CBA mendesak kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memeriksa Direktur Utama Perumda PAM Jaya, Arief Nasrudin dan Pj Gubernur Jakarta, Heru Budi Hartono dalam kasus kenaikan tarif Air PAM Jaya,” tegas Uchok Sky.

Uchok Sky juga menyorotin dampak kebijakan ini sangat luas. Kenaikan tarif Air akan membebani masyarakat, terutama mereka yang berada di kelas ekonomi bawah yang saat ini kehilangan daya beli. Ini juga bisa memicu keresahan publik dan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Provinsi Jakarta. Padahal, seharusnya kebijakan yang diambil harus berdasarkan asas keadilan dan kesejahteraan rakyat.

“Pemerintah pusat harus segera turun tangan dan mengevaluasi keputusan ini. Jika memang terbukti melanggar aturan, kebijakan tersebut harus segera dibatalkan. Selain itu, ke depan harus ada pengawasan lebih ketat terhadap pemimpin daerah agar mereka tidak bertindak di luar kewenangannya,” tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemprov DKI Jakarta maupun Perumda PAM Jaya. Jika terbukti melanggar aturan, tarif baru dapat dibekukan atau dibatalkan.

Masyarakat kini menuntut agar Anggota DPRD DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat segera turun tangan untuk meninjau ulang kebijakan ini. Beberapa anggota DPRD Jakarta bahkan sudah mulai bersuara dan mendesak Pemprov Jakarta untuk memberikan klarifikasi terkait dasar hukum kenaikan tarif ini.

Sementara itu, di media sosial, tagar #TolakKenaikanTarifAir #PamJayaZalim mulai viral. Banyak netizen menyuarakan keluhan mereka dan mendesak agar kebijakan ini ditinjau ulang.

“Masyarakat juga berharap Gubernur Jakarta yang baru Pramono Anung agar dapat berpihak dan melindungi rakyat dengan segera membatalkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 730 Tahun 2024 yang dibuat oleh Pj Gubernur sebelumnya. Keputusan ini dinilai tidak hanya memberatkan warga, tetapi juga berpotensi melanggar aturan hukum yang berlaku, ” pungkas Uchok Sky.

Apa langkah selanjutnya dari Pemerintah? Apakah kenaikan tarif Air ini akan tetap diberlakukan atau justru dibatalkan? Masyarakat Jakarta menunggu jawaban!

 

 

Reporter: M. Reza Pahlevi