Al-Quran Sebagai Pedoman Hidup Pribadi, Masyarakat Dan Negara

banner 120x600

 

JAKARTA | Di antara sekian banyak keistimewaan Ramadhan adalah karena Ramadhan adalah Bulan al-Quran. Pada bulan mulia inilah al-Quran diturunkan, sebagaimana firman-Nya:

banner 728x90

شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ

Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang haq dan yang batil) (TQS al-Baqarah [2]: 185).

Bahkan Allah SWT menurunkan al-Quran pada malam paling istimewa, yakni Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Demikian sebagaimana firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sungguh Kami menurun al-Quran pada saat Lailatul Qadar (TQS al-Qadar [97]: 1-3).

Al-Quran adalah petunjuk jalan kebenaran agar manusia tidak terjerumus ke jalan kesesatan. Al-Quran adalah cahaya penerang bagi kehidupan manusia agar tak tersesat dalam kegelapan. Al-Quran adalah petunjuk dan arah bagi pencapaian kebahagiaan dan keselamatan, di dunia dan akhirat. Al-Quran adalah warisan Rasulullah saw. yang berlaku hingga Hari Kiamat. Hukum-hukumnya tak lekang oleh waktu dan tak tergerus oleh perubahan zaman. Allah SWT menegaskan:

ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدًى لِّلۡمُتَّقِينَ

Kitab (al-Quran) ini, tidak ada keraguan di dalamnya, adalah petunjuk bagi kaum yang bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 2).

Allah SWT juga menegaskan:

إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرًا كَبِيرًا

Sungguh al-Quran ini memberikan petunjuk ke jalan yang lebih lurus, juga memberikan kabar gembira kepada kaum Mukmin yang mengerjakan amal-amal shalih, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar (TQS al-Isra’ [17]: 9).

Dengan membaca, menghapal, mempelajari, memahami dan mengamalkan al-Quran, umat Muslim dapat menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, yakni jalan yang lurus dan selamat. Sebaliknya, jika mereka berpaling dari al-Quran, mereka akan ditimpa kehidupan yang sempit di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Demikian sebagaimana yang Allah SWT tegaskan:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Siapa saja yang berpaling dari Peringatan-Ku (al-Quran) maka bagi dia kehidupan yang sempit dan di akhirat kelak Kami akan membangkitkan dia dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Kehidupan yang sempit sesungguhnya sudah lama kita rasakan saat ini. Sebabnya, tidak lain karena kita telah lama berpaling dari al-Quran. Padahal negeri kita kaya-raya dengan segala bentuk sumberdaya alam yang melimpah-ruah. Namun, semua itu seolah tidak mendatangkan berkah, malah mendatangkan musibah. Sebabnya, pengelolaan kekayaan alam negeri ini tidak mengikuti petunjuk dan aturan al-Quran. Al-Quran, misalnya, jelas telah melarang penumpukan harta kekayaan pada segelintir orang:

…كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

…Agar harta itu tidak hanya beredar (menumpuk) pada segelintir orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Faktanya, hari ini yang terjadi sebaliknya. Sebagian besar kekayaan negeri ini hanya dinikmati oleh segelintir oligarki. Kekayaan seperti migas (minyak dan gas), tambang (emas, perak, nikel, batubara, dll), bahkan hutan sebagian besarnya dikuasai oleh oligharki. Padahal semua itu, dalam pandangan Islam, adalah milik umum, yang haram dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Semua kekayaan milik umum wajib dikelola oleh negara dan hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat.

Demikianlah, jika manusia mengikuti kehendak hawa nafsu, maka manusia akan terjerumus ke dalam lembah kesesatan dan kesengsaraan. Ini karena hawa nafsu memang mengantarkan pada kerusakan dan kegelapan. Sebaliknya, wahyu (al-Quran) mengantarkan pada kebaikan dan keberkahan. Al-Quran akan menjadi cahaya penerang. Tentu jika al-Quran diamalkan keseluruhan hukum-hukumnya. Allah SWT menegaskan:

…قَدۡ جَآءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٌ وَكِتَٰبٌ مُّبِينٌ

…Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan (TQS al-Maidah [5]: 15).

Frasa “nuur[un] wa kitab[un] mubiin” dalam ujung ayat di atas yakni, “Rasulullah saw. (sebagai pembawa cahaya) dan al-Quran) yang di dalamnya menjelaskan segala urusan agama dan dunia serta menerangkan segala hal yang menjadi sumber kebahagiaan dan kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat.” (Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, Aysar at-Tafaasiir, 1/339).

Dengan demikian, tak hanya terbatas di dunia, al-Quran akan menjadi sumber kebahagian manusia di akhirat. Al-Quran bahkan akan memberikan syafaat (pertolongan) kepada para sahabatnya pada Hari Kiamat. Rasulullah saw. bersabda:

اِقْرَؤُوْا الْقَرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا ِلأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bacalah al-Quran karena ia akan datang sebagai pemberi syafaat bagi sahabatnya pada Hari Kiamat (HR Ahmad).

Siapa yang disebut sahabat al-Quran yang akan diberi syafaat oleh al-Quran? Tidak lain orang-orang yang terbiasa membaca al-Quran, menyibukkan diri (akrab) dengan al-Quran serta bepegang teguh pada perintah dan larangan al-Quran (Syaikh Ibnu Muhammad bin ‘Allan, Daliil al-Faalihiin li Thuruq Riyaadh ash-Shaalihiin, 6/310).

*Negara Wajib Menerapkan al-Quran*

Al-Quran tak hanya wajib menjadi pedoman bagi setiap individu dan masyarakat Muslim. Al-Quran pun wajib menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara. Ini karena al-Quran adalah mukjizat paling agung yang Allah SWT turunkan kepada manusia. Allah SWT berfirman:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Andai al-Quran ini Kami turunkan di atas gunung, kamu (Muhammad) pasti akan menyaksikan gunung itu tunduk dan terbelah karena takut kepada Allah. Perumpamaan itu kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir (TQS al-Hasyr [59]: 21).

Menurut Abu Hayan al-Andalusi, ayat ini merupakan bentuk celaan kepada manusia yang keras hatinya dan tidak terpengaruh perasaannya oleh al-Quran. Padahal jika gunung yang tegak dan kokoh saja pasti tunduk dan patuh pada al-Quran, seharusnya manusia lebih tunduk dan patuh pada al-Quran (Al-Andalusi, Bahr al-Muhîth (9/251).

Al-Quran tentu tak cukup sebatas dibaca dan dihapal. Lebih dari itu, seluruh kandungan al-Quran wajib dipahami dan diamalkan dalam kehidupan individu, masyarakat dan bernegara. Sebabnya, selain berdimensi individu, hukum-hukum al-Quran juga berdimensi sosial dan kenegaraan. Contoh: Al-Quran mewajibkan setiap individu Muslim untuk berpuasa dengan perintahnya: “Kutiba ‘alaykum ash-shiyaam (Telah diwajibkan atas kalian berpuasa [Ramadhan]) (QS al-Baqarah [2]: 183).” Al-Quran pun memerintahkan kepada penguasa Muslim: “Kutiba ‘alaykum al-qishaash (Telah diwajibkan atas kalian [untuk menegakkan] hukum qishaash [balasan yang setimpal] dalam kasus pembunuhan) (QS al-Baqarah [2]: 178).” Hukum qishaash ini—juga hukum huduud dan hukum-hukum lainnya—jelas wajib diterapkan oleh negara. Demikian pula perintah al-Quran kepada kaum Muslim: “Kutiba ‘alaykum al-qitaal (Telah diwajibkan atas kalian berperang [jihad]) (QS al-Baqarah [2]: 216).”

Faktanya, kewajiban berpuasa Ramadhan memang diamalkan oleh individu-individu Muslim. Namun anehnya, kewajiban menegakkan hukum qishaash, huduud dan hukum-hukum lain—juga kewajiban jihad fi sabilillah—saat ini tidak dilakukan oleh kaum Muslim dan para pemimpinnya. Padahal perintahnya di dalam al-Quran sama-sama menggunakan kata “kutiba”, yang bermakna “furidha” (telah diwajibkan) (Lihat: Tafsiir al-Jalaalayn, 1/186, 191 dan 225).

Karena itu sepantasnya individu, masyarakat dan pemimpin negara wajib meneladani kehidupan dan kepemimpinan Rasulullah saw. yang telah dengan sempurna menerapkan hukum-hukum al-Quran secara kaaffah. Ini karena Rasulullah saw. adalah teladan terbaik (QS al-Ahzab [30]: 21). Allah SWT pun telah menegaskan bahwa seorang Muslim wajib masuk Islam secara kaaffah (QS al-Baqarah [2]: 208).

Sayangnya, saat ini meskipun di negeri ini ada puluhan ribu pesantren dengan jutaan santrinya, ribuan ulama, ribuan perguruan tinggi Islam dan ribuan penghapal al-Quran, faktanya al-Quran tidak dijadikan sebagai sumber perundang-undangan negara. Di negeri ini justru ideologi kapitalisme sekuler dari kaum kafir Baratlah yang dijadikan sumber perundang-undangan negara. Yang lebih ironis, banyak orang Muslim yang menolak bahkan memusuhi syariah Islam sekaligus menuduh para pejuangnya sebagai kaum radikal.

Padahal berhukum dengan hukum-hukum al-Quran merupakan bukti keimanan kepada Allah SWT (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65). Allah SWT pun menegaskan agar manusia tidak boleh berhukum pada selain al-Quran karena itu berarti berhukum pada hukum jahiliyah. Allah SWT juga menegaskan bahwa tidak ada yang lebih baik daripada hukum-Nya (Lihat: QS al-Maidah [5]: 50).

Apalagi sudah jelas, akibat mengabaikan al-Quran dan hukum-hukumnya, negeri ini menjadi gelap. Lihatlah berbagai bentuk kemungkaran dan kebatilan yang merajalela di negeri ini seperti korupsi triliunan rupiah oleh para pejabat rakus, maraknya judi online, perampasan tanah rakyat oleh oligarki serakah, bencana alam yang bertubi-tubi akibat rusaknya lingkungan, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, pelacuran, penipuan dan kebohongan oleh para petinggi negeri, bunuh diri dan pembunuhan serta perampokan sumberdaya alam milik rakyat oleh kaum kapitalis. Semua kerusakan ini persis seperti yang digambarkan al-Quran (Lihat: QS ar-Rum [30]: 41; QS Thaha [20]: 124).

Berdasarkan fakta ini, jelas negara wajib menerapkan al-Quran secara kaaffah. Ini bukan hanya keniscayaan, tetapi juga kebutuhan mendesak bagi bangsa dan negeri ini.

Alhasil, sudah seharusnya Bulan Ramadhan ini dijadikan sebagai momentum untuk mengamalkan dan menerapkan hukum-hukum al-Quran secara keseluruhan baik oleh individu, masyarakat maupun negara.

*Hikmah:*

Allah SWT berfirman:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا

Rasul telah berkata, “Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikannya al-Quran ini sesuatu yang dicampaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).

 

Buletin Kaffah No. 386 (14 Ramadhan 1446 H/14 Maret 2025 M)

 

Editor: Ahmad Jais