Jakarta | Tvnyaburuh.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat ‘serbuan’ gugatan soal presidential threshold agar angka 20 persen menjadi 0 persen. Harapannya, semua partai bisa mengusung calon presiden (capres) tanpa terpasung persentase suara di parlemen.
Dalam catatan detikcom, Rabu (15/12/2021), aturan tersebut tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu. Pasal tersebut berbunyi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat ‘serbuan’ gugatan soal presidential threshold agar angka 20 persen menjadi 0 persen. Harapannya, semua partai bisa mengusung calon presiden (capres) tanpa terpasung persentase suara di parlemen.
Dalam catatan detikcom, Rabu (15/12/2021), aturan tersebut tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu. Pasal tersebut berbunyi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pasal di atas hanya memberikan tiket bagi parpol/gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR bisa mengusung capres. Atau parpol/gabungan parpol yang memperoleh 25 persen suara nasional. Pasal ini sedikitnya sudah 13 kali digugat dan MK bergeming. Salah satunya adalah Rizal Ramli.
“Saya ingin seleksi kepemimpinan Indonesia kompetitif, yang paling baik nongol jadi pemimpin, dari presiden sampai ke bawah. Itu hanya kita bisa lakukan kalau threshold ambang batas kita hapuskan jadi nol,” kata Rizal Ramli di gedung MK pada September 2020.
Menurut Rizal Ramli, saat ini di seluruh dunia ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia tetapi tidak ada pembatasan semacam presidential threshold.
Namun, pada Januari 2021, MK tidak menerima gugatan itu. Lima hakim konstitusi menilai Rizal Ramli tidak mempunyai hak mengajukan judicial review Pasal 222 UU Pemilu itu.
Menurut kelima hakim MK itu, permasalahan berapa banyak jumlah orang yang bisa ikut capres, bukanlah masalah konstitusionalitas. Presidential threshold adalah kebijakan politik terbuka, bukan masalah konstitusionalitas.
“Seandainya memang benar didukung parpol atau gabungan parpol, Pemohon I mestinya menunjukkan dukungan dalam batas penalaran yang wajar menunjukkan bukti dukungan itu ke MK,” ujar hakim MK Arief Hidayat.
Sebelum Rizal Ramli, 12 gugatan serupa dilayangkan ke MK. Namun tidak ada satu pun yang membuahkan hasil. Ke-12 gugatan itu adalah:
1. Perkara nomor 44/PUU-XV/2017. Alasan permohonan yaitu Pasal 222 sebagai pintu masuk kartel politik. Selain itu, baik syarat capres/cawapres dan tata cara pemilihan presiden dalam UUD 1945 tidak mengatur syarat threshold dan UUD 1945 tidak mendelegasikan UU untuk mengatur syarat threshold. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
2. Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017. Alasannya hasil Pileg 2014 sebagai syarat pengajuan capres/cawapres 2019 telah mencampuradukkan suara pemilih. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
3. Perkara 59/PUU-XV/2017, alasan Pasal 222 dapat menghalangi upaya untuk mengurangi politik transaksional. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
4. Perkara nomor 70/PUU-XV/2017, alasan permohonan koalisi tidak dikenal dalam sistem presidensial karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada DPR. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
5. Perkara 71/PUU-XV/2017, alasan permohonan ambang batas pencalonan presiden merusak makna pemilu serentak sesuai putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
6. Perkara 72/PUU-XV/2017, alasan permohonan adanya threshold membatasi warga negara untuk menggunakan hak pilih secara cerdas untuk memilih capres/cawapres karena threshold menjadikan capres/cawapres terbatas. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
7. Perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018, alasan permohonan penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
8. Perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018, alasan permohonan menjadikan partai politik baru sebagai partai politik kelas 2, mendiskriminasi partai poltik baru. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
9. Perkara 54/PUU-XVI/2018, alasan permohonan PT bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang tidak dapat dipisahkan dari Pembukaan UUD 1945. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima
10. Perkara nomor 58/PUU-XVI/2018, alasan presidential threshold mengebiri dan membatasi pemohon untuk mendapatkan calon alternatif presiden dan wakil presiden karena berpotensi besar terhadinya calon tunggal. MK memutuskan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
11. Perkara Nomor 61/PUU-XVI/2018. Tidak jelas permohonannya sehingga tidak diterima karena tidak memiliki legal standing.
12. Perkara 92/PUU-XVI/2018, alasan presidential threshold mengharuskan presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik, sehingga pemohon tidak dapat mengakses menjadi presiden dari calon mandiri (perseorangan) karena harus diangkat oleh partai atau gabungan partai politik. MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima.
Mendekati 2024, presedential threshold kini kembali ramai digugat ke MK. Berikut daftarnya:
1. Ferry Joko Yuliantono
Waketum Partai Gerindra itu menggugat presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen dengan alasan aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.
“Penerapan presidential threshold juga berpotensi menghilangkan ketentuan tentang putaran kedua (vide Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945), sebagaimana penyelenggaraan pemilihan presiden 2014 dan 2019 yang menghadirkan dua calon presiden yang sama (Joko Widodo dan Prabowo Subianto),” ujarnya.
1. Ferry Joko Yuliantono
Waketum Partai Gerindra itu menggugat presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen dengan alasan aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.
Waketum Partai Gerindra Ferry Juliantono (Ari Saputra/detikcom)
“Penerapan presidential threshold juga berpotensi menghilangkan ketentuan tentang putaran kedua (vide Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945), sebagaimana penyelenggaraan pemilihan presiden 2014 dan 2019 yang menghadirkan dua calon presiden yang sama (Joko Widodo dan Prabowo Subianto),” ujarnya.
Ia menilai ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 secara implisit menghendaki munculnya beberapa calon dalam pemilihan presiden, yang tidak mungkin dilaksanakan dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon. Selain itu, ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 justru memberikan ‘constitutional basis’ terhadap munculnya calon presiden lebih dari dua pasangan calon dan karena itu presidential threshold jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan di atas.
“Keberlakuan Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 melanggar Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945, yaitu penerapan presidential threshold tidak sejalan dengan prinsip keadilan pemilu (electoral justice), yang mensyaratkan adanya kesamaan perlakuan di antara peserta pemilihan umum,” paparnya.
2. Gatot Nurmantyo
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menggugat syarat ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20 persen menjadi 0 persen ke MK. Menurutnya, dalam ilmu hukum secara teoretik dikenal prinsip ‘law changes by reasons’. Dalam tradisi fikih juga dikenal prinsip yang sama, yaitu ‘fikih berubah jika illat-nya (alasan hukumnya) berubah’.
“Jadi ketentuan hukum bisa berubah jika alasan hukumnya berubah. Kondisi faktual Pemilu Presiden tahun 2019 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan polarisasi politik yang kuat di antara anak bangsa, seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi,” beber Gatot yang memberikan kuasa ke Refly Harun.
1. Ferry Joko Yuliantono
Waketum Partai Gerindra itu menggugat presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen dengan alasan aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.
Waketum Partai Gerindra Ferry Juliantono (Ari Saputra/detikcom)
“Penerapan presidential threshold juga berpotensi menghilangkan ketentuan tentang putaran kedua (vide Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945), sebagaimana penyelenggaraan pemilihan presiden 2014 dan 2019 yang menghadirkan dua calon presiden yang sama (Joko Widodo dan Prabowo Subianto),” ujarnya.
Ia menilai ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 secara implisit menghendaki munculnya beberapa calon dalam pemilihan presiden, yang tidak mungkin dilaksanakan dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon. Selain itu, ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 justru memberikan ‘constitutional basis’ terhadap munculnya calon presiden lebih dari dua pasangan calon dan karena itu presidential threshold jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan di atas.
“Keberlakuan Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 melanggar Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945, yaitu penerapan presidential threshold tidak sejalan dengan prinsip keadilan pemilu (electoral justice), yang mensyaratkan adanya kesamaan perlakuan di antara peserta pemilihan umum,” paparnya.
2. Gatot Nurmantyo
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menggugat syarat ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20 persen menjadi 0 persen ke MK. Menurutnya, dalam ilmu hukum secara teoretik dikenal prinsip ‘law changes by reasons’. Dalam tradisi fikih juga dikenal prinsip yang sama, yaitu ‘fikih berubah jika illat-nya (alasan hukumnya) berubah’.
Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo menghadiri deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jawa Barat, Senin (7/9/2020). Deklarasi dilaksanakan di sebuah rumah, Kota Bandung, Senin (7/9/2020). (Yudha Maulana/detikcom)
“Jadi ketentuan hukum bisa berubah jika alasan hukumnya berubah. Kondisi faktual Pemilu Presiden tahun 2019 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan polarisasi politik yang kuat di antara anak bangsa, seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi,” beber Gatot yang memberikan kuasa ke Refly Harun.
3. Dua Anggota DPD
Dua anggota DPD, Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung, menggugat ke MK pekan lalu soal presidential threshold (PT) agar menjadi 0 persen. Fachrul Razi meminta doa dukungan kepada seluruh Indonesia agar demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan.
“Kedua, kita doakan kepada Allah SWT semoga tergugah hati Hakim MK memperhatikan dan memutuskan seadil-adilnya dalam rangka yang terbaik terhadap demokrasi Indonesia dan kita harapkan nol persen jawaban terhadap masa depan Indonesia. Salam PT nol persen,” tegas Fachrul Razi.
#tim