Buruh Cerdas|| Ini Penjelasan Lengkap, Sanksi Pidana Ketenagakerjaan Terkait “Pemberangusan” Serikat Buruh

banner 120x600

Buruh Cerdas| Tvnyaburuh.com – Dear sahabat buruh, perlindungan akan kebebasan berserikat bagi kaum buruh telah jelas diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2000 Tentang serikat pekerja/serikat buruh.

Pentingnya berserikat di tempat kamu kerja adalah untuk membangun kekompakan dan solidaritas sesama pekerja/buruh ditempat kamu bekerja, gunanya apa? diantaranya agar kamu memiliki posisi tawar atau bargening yang seimbang dengan pengusaha.

banner 728x90

Selain itu, masih banyak manfaat berserikat, dkantaranya melalui serikat/pekerja serikat buruh kamu bisa memperjuangkan peningkatan kesejahteraanmu dan keluargamu melalui Perjanjian Kerja Bersama, dan kalau kamu ada masalah dengan pihak perusahaan minimal kamu tidak sendirian atau kata lain ada yang membantu mendampingi atau advokasi, dan pastinya masih banyak lagi kemanfaatan berserikat ya sahabat buruh.

Nah…! Sahabat, berikut Tvnyaburuh.com menyajikan aturan terkait pasal pidana bagi siapapun yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk menjadi anggota atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh berikut dengan penjelasanya yang dikutip dari tulisan Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS. Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Sumatera Utara (USU) :

UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Ketentuan Pidana Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2000

Pasal 43 UURI No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:

(1) Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.  

Pasal 28 UU RI No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, berbunyi: 

Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan serikat pekerja/buruh dengan cara:

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;  

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;  

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat butuh.  

Memperhatikan ketentuan Pasal 43 ayat (1) jo. Pasal 28 UURI No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka unsur-unsur Pasal 43 ayat (1) UURI No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, adalah sebagai berikut:

Barangsiapa;

Menghalang-halangi pekerja/buruh untuk:

– membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/buruh,

– menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus serikat pekerja/buruh,

– menjadi anggota atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh dan/atau

– menjalankan atau tidak menjalankan serikat pekerja/buruh –

atau

memaksa pekerja/buruh untuk:

– membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/buruh,

– menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus serikat pekerja/buruh,

– menjadi anggota atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh dan/atau

– menjalankan atau tidak menjalankan serikat pekerja/buruh; –

dengan cara:

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;  

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;  

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;  

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat butuh.  

Dengan sengaja.

Ad. 1. Barangsiapa  

Pengertian barangsiapa dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 21 tahun 2000, unsur “barangsiapa” yaitu pelaku yang melakukan tindak pidana. Barangsiapa dalam suatu pasal adalah hanya merupakan element delict dan bukan bestandel delict atau delik inti yang harus dibuktikan. Unsur delik tergantung pada bestandel delict, dimana implementasinya haruslah dihubungkan dengan terbukti atau tidaknya bestandel delict yang disangkakan/didakwakan/dituduhkan kepada seseorang. 

Barang siapa dalam konteks ini adalah Tersangka/Terdakwa yang melakukan perbuatan, entah sebagai hoofdader, dader, mededader, atau uitlokker, unsur barang siapa harus dihubungkan dengan perbuatan selanjutnya apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak. Kalau unsur-unsur lainnya terpenuhi, barulah unsur “barangsiapa” dapat dinyatakan terpenuhi atau terbukti.

Jadi yang dimaksud unsur “barangsiapa” dari sangkaan/dakwaan/tuntutan, jelas ditujukan kepada manusia atau orang sebagai subjek hukum yang berfungsi sebagai hoofdader atau dader, atau mededader, atau uitlokker suatu perbuatan pidana, yang telah memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.

Barang siapa sebenarnya bukanlah merupakan unsur akan tetapi dalam perkembangan praktek di pengadilan, kata “barangsiapa” menjadi bahan ulasan, baik oleh kepolisian, kejaksaan maupun oleh pengadilan. “Barangsiapa” atau siapa saja, mengandung pengertian equality before the law. Kata barang siapa tidak dapat dipisahkan dari ajaran tentang pertanggungjawaban pidana seseorang atau korporasi, sehingga oleh karenanya tanpa menghubungkan dengan bestandel delict yang didakwakan kepada Tersangka, Majelis Hakim belumlah dapat menentukan pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap Tersangka atas delik yang didakwakan kepadanya.

Pengertian “barangsiapa” bisa dilihat dari Pengertian setiap orang dalam Ketentuan Umum dari Undang-Undang tersebut, namun dalam UU RI No. 21 Tahun 2000 tidak ada diberikan pengertian “setiap orang” dalam “Ketentuan Umum”, akan tetapi jika diperhatikan Pasal 1 angka (1) sampai angka (8) UU No. 21 Tahun 2000, maka yang dapat dikatakan sebagai “barangsiapa” atau “pelaku tindak pidana” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 21 tahun 2000, yaitu selain orang perorangan pada umumnya, termasuk:  

1. Serikat pekerja/serikat buruh;  

2. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan;  

3. Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan;  

4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh;  

5. Konferensi serkat pekerja/serikat buruh;

6. Pekerja/buruh;  

7. Pengusaha; dan/atau

8. Perusahaan.  

Ad. 2. Menghalang-halangi pekerja/buruh untuk:  

– membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/buruh,

– menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus serikat pekerja/buruh,  

– menjadi anggota atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh dan/atau

– menjalankan atau tidak menjalankan serikat pekerja/buruha atau  memaksa pekerja/buruh untuk:

– membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/buruh,

– menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus serikat pekerja/buruh,  

– menjadi anggota atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh dan/atau

– menjalankan atau tidak menjalankan serikat pekerja/buruh;

dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pengertian menghalang-halangi yaitu suatu tindakan untuk merintangi atau menjadikan tidak berlangsungnya sesuatu atau tidak tercapainya sesuatu tujuan atau suatu hal yang menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana atau maksud keinginan.

 

Berkaitan dengan unsur Pasal 43 ayat (1) jo Pasal 28 UU No. 21 tahun 2000, maka menghalang-halangi tersebut adalah:

1. suatu tindakan untuk merintangi atau menjadikan tidak berlangsungnya sesuatu atau tidak tercapainya sesuatu tujuan atau suatu hal yang menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana atau maksud keinginan pekerja/buruh, untuk membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/buruh, dengan cara:  

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;  

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.  

2. suatu tindakan untuk merintangi atau menjadikan tidak berlangsungnya sesuatu atau tidak tercapainya sesuatu tujuan atau suatu hal yang menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana atau maksud keinginan pekerja/buruh, untuk menjadi pengurus atau tidak pengurus serikat pekerja/buruh dengan cara:

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;  

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh;  

3. suatu tindakan untuk merintangi atau menjadikan tidak berlangsungnya sesuatu atau tidak tercapainya sesuatu tujuan atau suatu hal yang menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana atau maksud keinginan pekerja/buruh, untuk menjadi anggota atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh dengan cara:  

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh;

4. suatu tindakan untuk merintangi atau menjadikan tidak berlangsungnya sesuatu atau tidak tercapainya sesuatu tujuan atau suatu hal yang menjadi sebab tidak terlaksananya suatu rencana atau maksud keinginan pekerja/buruh, untuk menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/buruh dengan cara:

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Pengertian memaksa, yaitu suatu tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada ada pilihan lain yang lebih wajar baginya selain dari mengikuti kehendak sipemaksa, dengan kata lain tanpa tindakan pemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa. Pemaksaan pada dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pokoknya akibat dari pemaksaan itu jika tidak dilaksanakan adalah sesuatu yang merugikan siterpaksa.

Berkaitan dengan unsur memaksa dalam Pasal 43 ayat (1) jo Pasal 28 UU No. 21 tahun 2000, maka pemaksaan tersebut adalah:  

suatu tindakan yang memojokkan pekerja/buruh hingga tiada ada pilihan lain yang lebih wajar baginya selain dari mengikuti kehendak sipemaksa untuk membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/buruh dengan cara:

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

suatu tindakan yang memojokkan pekerja/buruh hingga tiada ada pilihan lain yang lebih wajar baginya selain dari mengikuti kehendak sipemaksa untuk menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus serikat pekerja/buruh dengan cara: dengan cara:

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

suatu tindakan yang memojokkan pekerja/buruh hingga tiada ada pilihan lain yang lebih wajar baginya selain dari mengikuti kehendak sipemaksa untuk menjadi atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh dengan cara; dengan cara:

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;  

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.  

suatu tindakan yang memojokkan pekerja/buruh hingga tiada ada pilihan lain yang lebih wajar baginya selain dari mengikuti kehendak sipemaksa untuk tidak menjalankan atau tidak menjalankan serikat pekerja/buruh dengan cara: dengan cara:

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. 

Ad. 3. Merupakan suatu perbuatan atau berbuat sesuatu guna menghalang-halangi memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara;

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Perbuatan yang dilakukan sebagaimana diuraikan tersebut merupakan perbuatan yang aktif dan disyaratkan telah terjadi adanya:

a. Pemutusan hubungan kerja;

b. Memberhentikan sementara;

c. Menurunkan jabatan;

d. Melakukan mutasi;

e. Tidak membayar upah pekerja/buruh;

f. Mengurangi upah pekerja/buruh;

g. Melakukan intimidasi terhadap pekerja/buruh;

h. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/buruh.

Ad. 4. Unsur dengan sengaja dapat dilihat dari rumusan tindak pidana yang menggunakan kata kerja dalam kata “menghalang-halangi” atau awalan “me” dalam kata “memaksa”.

Menurut Van Hamel (Drs P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru Bandung, hal. 279), pada tindak pidana yang merupakan “kesengajaan” disyaratkan bahwa tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja, dan opzet tersebut hanya dapat ditujukan kepada:

1. Tindakan-tindakan, baik tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan untuk tidak melakukan sesuatu;

2. Tindakan untuk menimbulkan sesuatu akibat yang dilarang oleh undang-undang;

3. Dipenuhinya unsur-unsur selebihnya dari tindak pidana yang bersangkutan.

Dengan sengaja didalamnya terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan). Tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens (disadari atau diketahui). Perkatan “willens en wetens” memberikan suatu kesan bahwa seseorang pelaku itu baru dapat dianggap sebagai telah melakukan kejahatannya dengan sengaja, apabila ia memang benar-benar berkehendak untuk melakukan kejahatan tersebut dan mengetahui tentang maksud dari perbuatannya itu sendiri.

Secara umum ada tiga bentuk kesengajaan (opzet), yaitu:

a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk)

b. kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid)

c. kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan terjadi (opzet met mogelijkheidsbewustzijn)

Kesengajaan sebagai maksud merupakan jika pembuat menghendaki akibat perbuatannya, ia tidak akan pernah melakukan perbuatannya apabila akibat perbuatan itu tidak akan terjadi.

Bentuk kesengajaan dengan kesadaran tentang kepastian merupakan bahwa pembuat yakin akibat yang dimaksudkannya tidak akan terjadi atau tercapai tanpa terjadinya akibat yang dimaksud atau akibat yang tidak dapat dielakkan terjadi.

Bentuk sengaja dengan kesadaran kemungkinan terjadi merupakan pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi. Sehingga untuk dapat masuk kedalam Pasal 43 UU RI No. 21 Tahun 2000 harus ada kehendak untuk menghalang-halangi atau memaksa pekerja buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara;

a. Melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja buruh;

c. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Demikian sahabat buruh artikel kita sajikan bagi pembaca setia, jika bermanfaat bagikan artikel ini ke sahabat buruh semuanya ya, dan tunggu artikel Buruh Cerdas Selanjutnya.

#Tim